Simbiosis Mutualisme Dua Oligarki
Oleh Rachmat Pr*)
Editor Toni G
NEWSLETTERJABAR.COM-- Rezim politik oligarki yang powerfull suatu saat bisa saja runtuh, entah dalam hitungan tahun atau dekade, karena memang apapun tidak ada yang abadi di muka bumi ini.
Sejarah membuktikan, rezim Soeharto tiga puluh dua tahun berkuasa, runtuh seketika.
Hasrat berkuasa secara terus-menerus dalam kekuasaan politik merupakan bagian tak terpisahkan dari syahwat politik itu sendiri.
Konon apapun alasannya kekuasaan harus dipertahankan demi kontinuitas pembangunan. Bisa juga kekuasaan politik harus tetap digenggam erat demi dinasty politik, demi kelompok oligarki, kedatipun rezim itu miskin prestasi.
Di republik ini juga sistem nilai sudah berubah. Kekuasaan dan jabatan tidak lagi dipandang sebagai amanah, melainkan anugrah sebagaimana tambang emas yang harus diekploitasi habis-habisan.
Psykologi Ketakutan Rezim Berkuasa
Masih cukup lama sebetulnya kontestasi politik akan dimulai, akan tetapi tensinya sudah mulai terasa. Manuver politik mulai memanaskan situasi, baik koalisi parpol maupun deklarasi dukung-mendukung calon presiden tertentu terus bersahutan.
Masuk akal sekali apabila rezim berkuasa punya keinginan bahwa suksesornya nanti adalah orang yang dapat dipercaya bisa mengamankan dan melanjutkan program-program pembangunan yang belum sempat tuntas. Apalagi banyak mega proyek padat modal yang mangkrak penyelesaiannya.
Diperlukannya suksesor, bukan semata-mata untuk menjamin kontinuitas atau keberlanjutan program, akan tetapi juga diperlukan untuk mengamankan kebijakan-kebijakan yang bermasalah. Kebijakan-kebijakan seperti ini bisa saja di kemudian hari menjadi persoalan hukum apabila gagal menyiapkan suksesor.
Dalam realitas politik di republik ini, ada semacam psykologi ketakutan dari pemimpin yang akan berakhir kekuasaannya. Karena itu, dengan sekuat tenaga berusaha melahirkan suksesor yang bisa mengamankannya.
Inilah fenomena yang sedang terjadi.
Sejarah membuktikan, transisi kekuasaan di republik ini belum pernah berjalan mulus. Transisi kekuasaan dari mulai Soekarno ke Suharto dan yang lainnya selalu menyisakan dendam politik.
Relasi Ekonomi Politik
Keinginan untuk menyiapkan suksesor dari oligarki politik bersimbiosis dengan kepentingan oligarki ekonomi yang sedang berperan. Dengan kata lain ada simbiosis mutualisme antara oligarki politik dan oligarki ekonomi. Hal itu dikarenakan ongkos politik di negeri ini begitu mahal (high cost); maka upaya untuk mempersiapkan suksesor butuh dana besar.
Pada titik inilah terjadi irisan kepentingan; simbiosis mutualisme antara oligarki politik dan oligarki ekonomi.
Oligarki politik butuh biaya politik, oligarki ekonomi perlu jaminan perlindungan keamanan pada investasi dan konsesi-konsensi ekonomi mereka supaya terus berkelanjutan.
Inilah relasi dua oligarki yang sedang tumbuh subur dalam budaya politik tanah air. Relasi seperti ini merusak dan menghancurkan konsolidasi demokrasi. Bahkan, dalam relasi politik seperti ini oligarki ekonomi menjadi pemenang; penguasa seringkali tunduk tidak berdaya di hadapan mereka --hanya karena kelangkaan minyak goreng, misalnya.
Dari perspektif Ekonomi - Politik sekalipun relasi politik seperti ini tidak bisa dibenarkan. Demikian pula dari sisi konsep stabilitas politik. Stabilitas politik yang dibutuhkan di republik ini adalah stabilitas politik yang dinamis; stabilitas yang bisa menjamin dinamika kehidupan sosial politik; bukan stabilitas politik yang diperoleh dengan mematikan kekuatan-kekuatan politik yang ada. (*)
*) Pemerhati Sosial Politik
Komentar
Posting Komentar