Sengkarut Garut dengan Pemerintahan Carut-marut secara Ketatanegaraan


GARUT, NEWSLETTERJABAR.COM--
Sumber hukum, selain perundang-undangan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, secara ketatanegaraan adalah hukum yang diakui keabsahannya dan digunakan sebagai interaksi sosial pada masyarakat dan atau wilayah tertentu berdasarkan kekhususan-kekhususan berdasarkan historical.


Demikian disampaikan Pengamat Hukum Tata Negara sekaligus
salah seorang juru bicara D'Ragam, Indra Kurniawan, S.H, dalam keterangan persnya yang diterima redaksi. Minggu (02/01/2022)


Selain itu, lanjut Indra, sumber interaksi juga bisa berasal pada doktrin-doktrin dan bahkan ucapan Pejabat Negara bagi ilmu hukum dianggap sebagai salah satu sumber hukum yang tentunya harus dipertanggung jawabkan.


Dikatakan pula, dalam kacamata Tindakan Administrasi Negara maka setiap ucapan Pimpinan daerah, dalam hal ini Bupati Garut, sepanjang dalam kerangka jabatan maka itu adalah sebuah hukum yang melekat bagi masyarakat Garut.


"Pernyataan Bupati Garut tentang buruknya Ouput Perform ASN asal IPDN adalah pernyataan yang sungguh tidak memiliki Etika Publik, bahkan unmorality karena terucap dari seorang Pimpinan Daerah yang seharusnya kinerja itu diukur dari Personality dan tertutup, bukan malah membawa background institusi IPDN," ujar Indra.


"Secara Delik sebetulnya ini sudah masuk ranah pencemaran nama baik, hal ini mempertimbangkan bahwa statement tersebut sangat berkaitan dengan Reputasi, Perkembangan, dan harapan-harapan ASN yang berasal dari STPDN/IPDN atapun yang saat ini sedang menjalani Pendidikan di Institusi yang telah ada pada masa pemerintahan Hindia Belanda ini," sambung dia.


Terkait itu pula, dalam kurun tiga bulan terakhir, Bupati Garut dan Wabupnya dituntut nengundurkan diri oleh Aliansi Masyarakat, D’Ragam, yang dokumen-dokumen temuannya secara politis telah berada di tangan DPRD Kabupaten Garut.


"Sengkarut Kabupaten Garut dengan pemerintahan yang carut-marut secara ketatanegaraan; yang pimpinan daerahnya seolah kehilangan budaya malu atas semua kegagalan pencapaian kesejahteraan masyarakat Garut menjadi kado terburuk bagi masyarakat Garut dalam kurun waktu Tahun 2021," tutur Indra.


"Tentu ini menjadi titik kulminasi kejengahan warga garut yang terrepresentasikan oleh Gerakan D’ragam yang menurut saya pribadi selaku Jubir D’Ragam , seluruh hal yang dijadikan landasan tuntutan berbasis originalitas Eviden, yang tentunya tersaji dalam format akademik, sehingga setiap praduga yang dibangun memiliki validitas yang utuh," ujar dia.


"DPRD Kabupaten Garut seharusnya telah memiliki Cukup pertimbangan yuridis untuk melakukan hak angket karena memang pada setiap Kebijakan yang dianggap gagal sangat berdampak luas bagi masyrakat Garut, contohnya mengenai Banjir bandang dan Angka Perkapita Terendah se Jawa-Barat adalah fakta yang tidak perlu lagi memerlukan pengkajian mendalam selain melakukan hak angket terhdap Bupati/Wabup Garut yang memang Secara IPM dan Visualisasi Kesejahteraan sangat terbuka Kegagalannya," sambung Indra.


Urgensi dan fakta, terang Indra, seharusnya cukup membawa seluruh elemen masyarakat untuk meneriakan secara terstruktur bahwa budaya malu itu penting dimiliki Oleh Bupati dan Wakil Bupati Garut.


Terlepas itu, disampaikan Indra,
ada beberapa elemen yang masih berkutat pada cara-cara prosedural dan tatib DPRD tentang mekanisme penyelesaian tuntutan-tuntutan D’ragam tersebut.


"Menurut saya hal ini malah terlalu retoris," tandas Indra.


"Meskipun di sisi lain proses-proses ini harus melalui tahapan-tahapan normatif, akan tetapi pada kasus ini tentu wajib ditempatkan pada urgensi khusus; skala prioritas tinggi karena korban banjir,  baik materil maupun imateril telah terjadi; kemiskinan yang buruk pengentasannya juga telah terjadi secara kuantifikasi; praduga nepotisme pada bisnis-bisnis private Bupati/Wabup pun telah terjadi sehingga DPRD, Kejaksaan, dan KPK dalam kapasitasnya masing-masing segera masuk dan melakukan proses-proses praduga ini menjadi kepastian hukum yang lebih rigid," papar Indra.


Ditandaskan juga, teoritisasi ketatanegaraan selalu menagih tentang konstanta pada 1 tahun anggaran APBD terhadap nilai digit dan parameter IPM, tentu wajib ada. Berapa digit?


"Jika ini tidak ada, maka warga berhak menuntut,  karena setiap rupiah uang rakyat dalam APBD harus kembali dalam bentuk Fairness yang berkeadilan," tegas Indra.


Lebih jauh, Indra mengatakan, tentu keadilan adalah abstrak, dan ukuran konkritnya adalah visualisasi infrastruktur, dan nilai ujung kesehatan, pendidikan serta perkapita yang buruk untuk Kabupaten Garut adalah Refleksi dari setiap tetesan keringat sahabat-sahabat D’ragam yang selama ini tetap konsisten dan original dalam memperjuangkan keadilan bagi masyarakat tertindas yang selalu menjadi korban para Penjahat Anggraran.


"Selaku salah seorang Juru Bicara D’Ragam, saya memastikan bahwa universalitas dari kajian-kajian ini ditempatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran warga Garut, dan tentunya sebagai Check and Balance Civil Society." terang Indra.


"Saya juga mengajak seluruh elemen mahasiswa dan masyarakat untuk saling terbuka mendiskusikan secara detail akan setiap tuntutan D’ragam; yang tentunya dukungan dari civitas akademik dan seluruh warga Garut didapatkan bukan kerena nuansa pragmatis, akan tetapi memang telah te reliabilitasnya secara koheren melalui dialektika yang terarah dan objektif," tutur Indra.


Dipungkas Indra: "Akhir kata, Kado Terburuk Pemerintahan Garut 2021 bagi Masyarakat Garut adalah Stagnasi Kesejahteraan, Hilangnya Urgensi Pembangunan, visioner yang lemah; serta Kado Terbaik bagi Masyarakat Garut pada Awal Tahun 2022 adalah Munculnya Budaya Malu pada Bupati dan Wabup Garut sehingga mundur dari Jabatannya adalah Sukarela". (Bulan T/Toni G)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Relawan SIAP NDan Ucapkan Selamat dan Sukses Atas Ditunjuknya Dandan Maju Calon Walikota Bandung

Nasib Pilkada Garut 2024 dalam Situasi Integritas KPUD Dipertanyakan Publik

Garut Membutuhkan Pemimpin Berjiwa Enterpreneur Government