Dasa Pitutur Sunan Kalijaga
Oleh H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيم
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Allahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad wa ‘ala aali Sayyidina Muhammad.
Muqadimah Ilmu Kasumedangan: “Sir cipta mulia cipta, anu Hurung anu Herang, anu aya di Buana Panca Tengah, manik mutiara putih, anu ngaran mata holang manusa, ya isun kurungan tunggal wisesa, mangka luhut, mangka anut, maring badan isun, ya isun kurungan tunggal wisesa, mangka welas, mangka asih (…..) wong sajagat kabeh “Laa Ilaaha IllAllah, Laa Ilaaha IllAllah, Laa Ilaaha IllAllah, Muhammadur Rasulullah”
Sunan Kalijaga sebagai salah satu Mursyid pendahulu kami tentunya sudah menjadi kewajiban bagi kami di Pasulukan Loka Gandasasmita untuk mentaati 10 Pedoman kehidupan (Dasa Pitutur) yang dikatakan oleh beliau.
Kanjeng Sunan adalah Mursyid Tarekat Syaththariyyah yang kami jalankan dengan sanad silsilah yang bersambung kepada beliau dari Kyai Muhammad Arjaen.
Sunan Kalijaga menerima Tarekat Syaththariyyah dari Sunan Bonang yang menerima dari Sunan Gunung Jati yang menerima dari Sulthan Danarasa terus bersambung hingga ke Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf”, bukan sufi panteistik, yang menekankan pada unsur pemujaan semata. Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (“Petruk Jadi Raja”). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah Adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang. Ketika wafat, ia dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang.
Lalu apa saja 10 Wasiat atau Dasa Pitutur Kanjeng Sunan Kalijaga yang masa hidupnya konon mencapai 100 tahun lamanya itu?
Berikut ini isi nasihat berharga dari beliau yang layak kita renungkan dan kita jalankan dalam kehidupan kita, jika kita mendambakan kehidupan yang selamat baik di dunia maupun di akhirat.
Pertama, Urip Iku Urup, yang bermakna Hidup itu Nyala. Maka hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita. Karena semakin besar manfaat yang bisa kita berikan, tentu akan lebih baik. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan bahwa manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain.
Kedua, Memayu Hayuning Bawono, Ambrasto dur Hangkoro, yang bermakna bahwa manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak. Hal ini dimaksudkan agar setiap manusia turut berperan sebagai penyelamat bumi, langit dan seisinya, termasuk juga keselamatan dan keamanan segala makhluk yang hidup di dalamnya.
Ketiga, Suro Diro Joyo Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti, yang bermakna bahwa segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya akan bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar. Maka manusia hendaknya lebih mengutamakan akhlakul karimah, tidak hidup di bumi dengan bersikap sombong dan tidak gemar membuat kerusakan di atasnya.
Keempat, Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih Tanpa Bondho, yang bermakna bahwa manusia harus tetap berjuang meski tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuatan; Kaya tanpa didasari kebendaan. Itulah modal manusia dalam hidup, yang senantiasa menjunjung tinggi harkat martabat kemanusiaannya sebagai anugerah kodrati dari Tuhan.
Kelima, Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan, yang bermakna hendaknya manusia jangan gampang sakit hati dan ciut nyali manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala dirinya kehilangan sesuatu. Karena manusia mesti senantiasa sadar, bahwa semua hanya milik-Nya. Dialah Sang Pemilik Sejati, sementara dirinya hanya semata si penerima titipan belaka.
Keenam, Ojo Gumunan, Ojo Getunan, ojo Kagetan, ojo Aleman, yang bermakna hendaknya manusia jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut dan kaget; Juga jangan mudah kolokan, cengeng atau manja. Sebaliknya, manusia mesti tak mudah euforia di kala senang dan tidak pula histeria di kala sedih, melainkan harus tetap tenang dan tegar dalam segala keadaan.
Ketujuh, Ojo Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman, yang bermakna hendaknya manusia jangan terlampau terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi. Karena sejatinya semua itu, ibarat hanya senda-gurau belaka.
Kedelapan, Ojo Kuminter Mundak Keblinger, ojo Cidra Mundak Cilaka, yang bermakna bahwa hendaknya manusia jangan sok merasa paling pandai agar tidak salah arah; Jangan suka berbuat curang agar dirinya tidak celaka. Manusia mesti selalu ingat bahwa hanya Tuhanlah yang Maha Tahu, sementara dirinya hanya mendapatkan karunia kepandaian dan ilmu tak lebih dari seujung kuku saja. Karena itu, sudah selayaknya manusia hidup berlaku jujur dan senantiasa teguh di jalan kebenaran.
Kesembilan, Ojo Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo, yang bermakna hendaknya manusia jangan gampang tergoda dan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, dan indah; Jangan berpikir mendua agar tidak malah kendor niat dan semangatnya dalam berkarya. Maka manusia harus hidup qanaah dan bersahaja, merasa cukup dengan apa yang memang benar-benar dibutuhkannya. Sedangkan dalam berikhtiar dan berupaya hendaknya dia tetap fokus dan tidak mendua.
Kesepuluh, Ojo Adigang, Adigung, Adiguno, yang bermakna hendaknya manusia jangan berwatak sok kuasa, sok besar, sok sakti dan sok-sok lainnya. Karena seperti kata pepatah, di atas langit masih ada langit. Dan sesungguhnya, pakaian kesombongan itu hanya Tuhan yang pantas memakainya, bukan manusia yang sejatinya adalah budak yang tak kuasa dan hamba yang penuh cacat dan cela.
Itulah kesepuluh wasiat atau “Pitutur” dari Kanjeng Sunan Kalijaga yang patut kita pedomani dan semampu kita hendaknya kita wujudkan dalam kehidupan di dunia, agar kita beroleh keselamatan dan kebahagiaan abadi di akhirat kelak.
Wassalam
Komentar
Posting Komentar