Insyaflah, jangan Salahkan Hujan atas terjadinya Bencana Longsor dan Banjir
Oleh Toni Gempur
NEWSLETTERJABAR.COM-- Musim hujan, khususnya di wilayah Garut sudah berlangsung.
Di banyak media beberapa hari ini hujan (deras) dituding sebagai biangkerok atas terjadinya bencana, baik longsor maupun banjir (bandang).
Lepas dari tepat atau tidaknya tuduhan terhadap hujan sebagai penyebab bencana banjir dan longsor tersebut, yang dapat dirasakan, semakin kini kekhawatiran serta ketakutan yang mendalam sering menjelma saat membayangkan ancaman bencana, khususnya pada musim penghujan seperti yang kita jalani sekarang ini.
Kian hari, saat hujan turun dengan intensitas tinggi (lebat, deras, dan cukup lama) bumi terasa kian mengerikan.
Ya, memang mengerikan!
Betapa tidak!
Mari sejenak kita tengok ke belakang; hujan dianggap sebagai penyebab bencana Banjir Pameungpeuk, bencana longsor Cisewu - Talegong, bencana longsor yang mengakibatkan putusnya jalan utama ke Puncak Darajat Pasirwangi, dan terakhir, bencana banjir bandang di Kecamatan Sukawening dan Karangtengah Kabupaten Garut; termasuk yang patut kita ingat, hujan pun adalah penyebab bencana Banjir Bandang Cimanuk di Garut 5 tahun lalu, 20 September 2016.
Mengenang peristiwa itu, jelas sekali dalam ingatan ini; peristiwanya terjadi pada Selasa malam; bencana banjir bandang seakan-akan terjadi begitu saja.
Dalam peristiwa banjir bandang Cimanuk ini, musim kemarau yang berdurasi panjang sebelumnya, berganti dengan musim penghujan yang kadar curahnya susah diukur dengan sangkaan logika.
Kerapnya hujan lebat yang mengguyur bumi Garut saat itu, pada beberapa daerah menimbulkan bencana, setidaknya tanah longsor dan banjir.
Peristiwa yang terjadi mungkin tidak jauh berbeda dengan kondisi yang kita hadapi sekarang.
Pada Selasa malam, 20 September 2016 tersebut, sungai Cimanuk ibarat murka; secara mendadak meluapkan airnya melewati batas kemampuan bantarannya.
Bagi yang menyaksikan peristiwa meluapnya air Cimanuk itu, saat itulah bumi terasa sangat mengerikan.
Gumpalan air bagai tangan-tangan raksasa menjambak pohon, rumah, bahkan manusia ada di sekitarannya.
Gumpalan air itu lalu menggenggamnya; meremasnya; dan menghanyutkannya ke dalam derasnya arus.
Pada saat itu, kondisi demikian senyatanya tidak terjadi pada satu tempat belaka. Pada waktu bersamaan, tidak kurang dari tujuh kecamatan di Kabupaten Garut - Jawa Barat, menjadi bulan-bulanan luapan air.
Di daerah yang paling rawan diterjang banjir, dalam tempo yang tidak lama, air telah melampaui genting, bahkan untuk rumah yang berlantai ganda sekalipun.
Betapa sangat memilukannya mendengar jeritan orang-orang yang tergusur gumpalan arus; kemudian suaranya lenyap ditelan riak air yang menggelora; raib di ketebalan banjir bandang di pekatnya kegelapan malam.
Terbayang betapa banyak korban saat itu!
Atas peristiwa itu, menurut BPBD Kabupaten Garut pada saat itu, data awal di lapangan menyebutkan, dalam sekejap bencana banjir badang terbesar dan terparah ini menelan 26 korban jiwa, 23 hilang, serta mengungsikan ratusan orang ke beberapa titik posko yang tersebar di daerah-daerah jona aman.
Ratusan orang lainnya menderita luka, baik ringan, sedang maupun berat.
Itu baru data awal!
Sementara, data korban tersebut kian hari semakin menunjukan grafik yang terus meningkat.
Atas peristiwa itu, Bupati Garut Rudy Gunawan menyatakan "Garut dalam keadaan bencana". Gubernur dan DPRD Jabar, bahkan Khofifah pun, Mensos pada masa itu mengunjungi daerah bencana di Kabupaten Garut ini.
Sejauh itu, terkait tuduhan terhadap hujan sebagai penyebab becana, banyak spekulasi yang mengungkapkan, bahwa peristiwa itu terjadi karena rusaknya ekosistem alam di daerah hulu sungai.
Alih-alih, sebab bencana banjir bandang di wilayah Sukawening dan Karangtengah juga disinyalir adanya pengalihan fungsi alam.
Jadi, siapa yang merusak tatanan alamiah di daerah hulu sungai, termasuk hulu sungai Cimanuk itu? Siapa yang membikin ulah tercela dan tak bertanggungjawab terhadap gunung dengan segenap tetumbuhan hutannya?
Singkatnya, siapa yang merusak hutan di daerah pegunungan mana saja hingga pohon-pohon yang akarnya sebagai penyangga air musnah, dan karena itu, manakala musim hujan tiba mengakibat longsor serta banjir bandang?
Terkait itu, ternyata pada sebagian besarnya bencana (malapetaka) yang terjadi di alam ini selalu bersebab-akibat dengan ulah manusia.
Itulah kiranya yang perlu diingat!
Banjir bandang yang merusak rumah, sekolah, dan bangunan lainnya, serta harta benda dan bahkan jiwa, bersebab-akibat dengan perbuatan manusia.
Kini patut manusia sadari bahwasanya betapapun cerdasnya manusia untuk menguasai alam dengan hasrat nafsunya, pada saat tertentu alam tidak saja menjadi pembangkang, tetapi juga sanggup melawan serta menyerang manusia seakan hendak melumatkan tanpa ampun.
Kesadaran akan ketidak-berdayaan manusia untuk menangkal bencana kian terasa.
Harus ada pengakuan akan kekuasaan dan kecerdasan manusia itu ada batasnya, bahkan teramat kerdil untuk bisa mengendalikan alam.
Dengan kesadaran seperti itu, insyaflah wahai manusia, jangan salahkan hujan atas terjadinya bencana longsor serta banjir bandang di mana saja! (*)
Komentar
Posting Komentar