Membangun Etika dan Norma Politik

 


oleh Ahmad Bajuri, S.E.,MM

Dosen Sospol STIE Yasa Anggana Garut


NEWSLETTERJABAR.COM-- Perjalanan sejarah Negara Indonesia telah mengalami beberapa dekade, mulai dari masa keemasan Nusantara sampai dengan masa jaya berbagai kerajaan yang ada di Nusantara (Indonesia saat ini); masa kolonial penjajahan dan dekade perjuangan kemerdekaan; masa    kemerderkaan dan mengisi kemerdekaan yang terbagi beberapa dekade yang disebut Orde Lama, Orde Baru, dan yang saat ini berjalan, Orde Reformasi.


Fase-fase tersebut sebagai fakta sejarah dengan berbagai kekurangan dan kelebihan pada masing-masing masanya.


Semua itu patut kita hargai dan kita harus mensyukurinya karena dengan kiprah para pendahulu itulah Indonesia bisa seperti saat ini.


Dengan berbagai  situasi dan kondisi perpolitikan pada tiap-tiap dekadenya, kita sebagai penerus dalam rangka mengisi kemerdekaan, dapat bercermin atau mengambil hikmah dan pelajaran dalam melakukan berbagai upaya,  baik itu dari kegigihan perjuangan dan komunikasi interaksinya maupun  dalam bersikap yang dapat  mencerminkan etika serta penerapan norma  dalam setiap sikap, tindakan, dan langkah yang diambil.


Sebagai orang awam, secara umum, selalu menggap politik itu keras,  jahat, bahkan sering disebut, politik itu bisa menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuannya; padahal dipandang secara keilmuan, politik itu disebutkan sebagai suatu seni dalam mengolah kekuasaan  untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan rakyat.


Kenapa politik bisa dikatakan keras, jahat, dan bisa disebutkan dapat menghalalkan segala cara?


Senyatanya, hal itu berhubungan dengan orang yang menjalankannya saja terkait kepribadiannya yang akhirnya merusak makna politik itu sendiri.



Karena itu, orang yang mau terjun ke dunia politik harus memahami makna dan tujuan berlolitik, termasuk mengetahui resikonya; jangan hanya terhadap politik itu tahunya hanya sebatas kekuasaan.


Kita harus mengetahui bagaimana management politik; management komplik. membangun komunikasi politik; marketing politik; komitment politik; suksesi politik; juga cost politik.


Hal-hal itulah di antaranya bagian untuk bisa menjadikan kita bermain politik yang beretika dan bernorma. Jadi kita bisa memisahkan mana yang baik dan tidak baik; mana yang benar dan salah; mana yang boleh dan tidak boleh.


Selain itu, tentu saja kita juga harus berpedoman pada aturan-aturan yang ada.


Karena itu, kemunduran makna politik seperti tersebut di atas bisa jadi  karena banyak pelaku politik yang kurang memahami tujuan dan makna berpolitik.


Contoh-contoh ungkapan yang sering terkontarkan terkait kurang pahamnya berpolitik, yakni:
1. 'Dalam politik tidak ada perteman yang abadi,  yang ada kepentingan yang abadi' dan
2. 'dalam bersikap politik seditikpun dapat berubah'.


Kedua ungkapan tersebut sangat memasyarakat di para pelaku atau elit padahal hal itu merupakan makna dan cara yang kurang pas,  di mana kepentingan yang abadi itu karena masalah ide dan gagasan yang sama; pertemanan yang tidak abadi, ya karena ide dan gagasan bukan hal materi dan jabatan yang dikedepankan.


Begitupun terkait perubahan sikap bisa berubah; bukan berdasarkan alasan materi dan jabatan, tetapi yang dikedepankan adalah alasan yang berkomitment kepentingan umum,  kejujuran,  ide  dan gagasan.


Sejauh itu, apa fenomena yang akan kita hadapi bila dalam berpolitik, masalah etika dan norma tidak menjadi pijakan?
Jika demikian, maka kehidupan politik yang muncul adalah politik pragmatisme .dan nepotisme.


Selain itu, bila etika dan norma tidak menjadi pola bersikap dan bertindak maka yang akan muncul kehidupan politik yang keras, tidak jujur,  menghalalkan segala cara, sikap politik yang plin-plan, tidak amanah; dan yang paling bahaya bisa menjadi penghianatan; menjual ideologi karena semua hanya didasarkan hanya materi dan kekuasaan.


 
Dengan etika dan norma akan membuat kita bersikap dan bertindak rasional, obyektif, serta menciptakan demokrasi, yang dengan amanah menjalankan kebijakan politik.


Fenoma yang terjadi saat ini justru adanya keluhan sebagian masyarakat akan kurangnya amanahnya para pejabat politik.


Hal ini tidak kita sadari bahwasanya semua terjadi dalam proses awal menyangkut, baik terkait SDM maupun peran lingkungan.


 
Secara keilmuan, bagaimana  akan menjadi amanah bila dalam prosesnya semua pihak pemangku dan pelaku kebijakan tidak amanah .
Dalam proses memimpin yang amanah terdapat tiga hal yang harus dipenuhi.


Pertama, amanah secara individnya; yaitu mempunyai kapasitas keilmuan, kejujuran  atau disebut PDLT.


Kedua, bagaimana lingkungan memberikan konstribusi besar, baik para penyelengaran pemilu maupun NGO.


Ketiga, bagaimana peran masyarakat dalam mengunakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.



Dengan demikian jika etika dan norma diterapkan maka rasionalitas dan obyektifitas akan muncul.



Sebaliknya, rasionalitas dan obyektifitas kita akan sirna bila ada rasa takut kehilangan sesuatu yang menyangkut jabatan dan materi, sementara, kenapa kita tidak merasa takut kehilangan kepribadian dan keberanian bicara jujur secara obyektifitas? (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Relawan SIAP NDan Ucapkan Selamat dan Sukses Atas Ditunjuknya Dandan Maju Calon Walikota Bandung

Nasib Pilkada Garut 2024 dalam Situasi Integritas KPUD Dipertanyakan Publik

Garut Membutuhkan Pemimpin Berjiwa Enterpreneur Government