Rakyat dan Politik Uang
oleh:
Idat Mustari
Pemerhati Masalah Sosial dan Agama
NEWSLETTERJABAR.COM-- Tema 'Money Politic' atau 'Politik Uang' hangat dibicarakan—dibahas terutama ketika menjelang Pemilu, Pilkada, Pileg.
Rasa-rasanya di musim Pilkada serentak 2020 pun politik uang diperkirakan akan mewarnainya. Dan akibat politik uang, relasi keterpilihan bukan didasari prinsip ideal. Akan tetapi bergeser kearah nilai trasaksional.
IhzaMahendra, definisi money politic (Politik Uang)sangat jelas, yakni mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Yusril mengatakan, sebagaimana yang dikutipoleh Indra Ismawan kalau kasus money politic bisa di buktikan, pelakunyabdapat dijerat dengan pasal tindak pidana biasa, yakni penyuapan. Secara umum Politik Uang biasa diartikan sebagai upaya untuk mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu.
Ada yang mengartikan Politik Uang sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan. Terlepas apa itu definisi politik uang, namun hal ini sudah cukup akrab di telinga masyarakat. Bahkan masyarakat pun sudah akrab dengan istilah “serangan fajar”.
Politik uang adalah politik transaksional. Yang akan terjadi apabila ada si pemberi dan si penerima. Si pemberi bisa calon kepala daerah ; relawan ; team kampanye dan seterusnya, Bentuknya bisa sembako, uang, barang, cindera mata, transportasi kampanye,kredit ringan, peminjaman dan bentuk lainnya. Si penerima adalah Rakyat sebagai pemilih.
Dalam Politik Uang sering kali yang dianggap paling bersalah hanya si pemberi, tidak si penerima. Padahal politik uang adalah sama dengan kasus suap, yang bisa dikenai sangsi pidana Pasal 149 ayat 1 dan 2 KUHP (Kitab Undang Hukum Pidana),
(1) Barang siapa pada waktu pemilihan yang diadakan menurut undang-undang umum, dengan pemberian atau perjanjian memberi suap kepada seseorang supaya ia tidak melakukan haknya memilih, atau supaya ia menjalankan hak itu dengan jalan yang tertentu, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp,4,500,-
(2) Hukuman itu juga dijatuhkan kepada sipemilih, yang menerima suap atau perjanjian akan berbuat sesuatu. R.Soesilo menjelaskan bahwa yang dapat dihukum menurut pasal ini bukan saja orang yang menyuap, akan tetapi juga orang yang menerima suap itu.
Tapi sayang Pasal ini seolah-olah tak pernah ada. Tindak pidananya merupakan delik aduan, namun yang sering diadukan umumnya adalah si pemberi. Dan dalam sepanjang sejarah Pilkada jarang terdengar ada si penerima (rakyat sebagai pemilih) yang dihukum gara-gara menerima uang “serangan fajar” baik dalam bentuk uang atau pun paket sembako dan lain-lain.
Dalam bahasa agama, politik uang sama dengan suap - menyuap. Suap yang dalam bahasa arab adalah rishwah atau rushwah, yang yang berasal dari kata al-risywah yang artinya sebuah tali yang menyambungkan sesuatu ke air.
Al-rosyi adalah orang memberi sesuatu yang batil, sedangkan murtasyinya adalah yang menerima. Al-raisy adalah perantara keduanya sehingga Rasulullah melaknat kesemuanya pihak.
Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi dan menerima suap. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi. Cuma sayang hadis ini seolah-olah hanya berlaku di arena lain, bukan di arena Pilkada sedikit sekali yang berani mengatakan bahwa si pemberi dan si penerima adalah keduannya sedang melakukan perbuatan haram.
Padahal menurut Rusdjdi Hamka, praktik money politic tidak berbeda dengan suap,karena itu haram hukumnya. Si penerima mendadak lupa dengan hadis ini, karena mungkin mereka menganggap menerima uang kadedeuh, bingkisan dari sang calon Bupati, calon Walikota, Calon Gubernur, dan team suksesnya bukan termasuk kategori suap melainkan dianggapnya hadiah atau hibah.
Keinginan, cita-cita agar Pilkada tak terkotori oleh politik uang adalah harapan kita semua.
Namun percayalah para team sukses, team siluman sang calon tak akan pernah menyentuh dengan uang, bingkisan untuk kaum terpelajar, tetapi yang jadi sasaran penerima suap adalah rakyat kecil yang berekonomi pas-pasan dan mereka adalah pemilih terbesar.
Inilah Pekerjaan Rumah terbesar bahkan mungkin tersullit untuk menyadarkan masyarakat agar memilih berdasarkan pertimbangan rasional. Pertimbangan yang berdasarkan kualitas calon serta kekuatan visi misi dan program.
Sungguh Pilkada akan bersih dari politik uang, ketika rakyat sudah mencapai kesadaran yang tinggi bahwa Politik uang adalah yang membuat rusaknya sistem demokrasi, dan setelah rakyat merasa cukup makmur. Kapankah itu terjadi ? Wallahu’alam.
Ngomong-ngomong, apakah politik uang itu hanya antara si pemberi (calon) dengan pemilih, bagaimana dengan KPU, KPUD dan para petugas mungkinkah ia pun bisa jadi si penerima ? Hanya Allah yang Tahu. (*)
Money Politic rasanya menyenangkan tapi ..... !
BalasHapus