Hutan di Garut Rusak, Siapa yang Jadi Tersangka?
GARUT, NEWSLETTERJABAR.COM-- Permintaan pasar terhadap kayu asal Indonesia, termasuk kayu asal Garut, masih tinggi. Hal itu berdampak pada pembalakan liar atau illegal logging masih marak terjadi.
Banyak hutan yang menjadi korban pembalakan liar, salah satunya adalah hutan yang ada di Kabupaten Garut.
Ketua BPAN Garut, M Iwan Sunarya, Ai, S. Sos.I, memaparkan, berdasarkan data yang dihimpun, pembabatan kayu hutan di Kabupaten Garut diduga kian masif dari tahun ke tahunnya.
Menurut Iwan, selain para pelaku perusakan hutan tersebut, Perhutani adalah salah satu yang harus bertanggungjawab atas semua yang terjadi di atas bumi perhutani.
Dari sekian banyak data perusakan hutan, lanjut Iwan, belum ada satupun kasusnya dilaporkan perhutani kepada penegak hukum.
"Dengan keberadaan itu, perhutani diduga terlibat dalam hal pembiaran," ungkap Iwan. Minggu (06/09/2020)
Dijelaskan Iwan, Perum Perhutani sebagai BUMN pengelola hutan negara harus pada aturan-aturan hukum terkait tata-kelolanya sebagai bentuk Good Corporate Governance.
"Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Garut adalah salah satu unit manajemen di wilayah Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat & Banten," jelas Iwan.
Luas kawasan hutan, lanjut Iwan menerangkan, berdasarkan SK Menhut No.195, seluas 81.510,65 Ha, dirinci menurut fungsinya adalah Hutan Produksi seluas 166,50 Ha (0,20 %); Hutan Produksi Terbatas seluas 5.429,60 Ha (6,66 %); dan Hutan Lindung 75.938,29 Ha (93,14 %).
"Berdasarkan kesesuaian lahan kawasan hutan KPH Garut dibagi dalam 2 (dua) kelas Perusahaan, yaitu Kelas Perusahaan Jati seluas 6.537,58 Ha, dan Kelas Perusahaan Pinus seluas 74.996,81 Ha," jelas Iwan.
Ditegaskan Iwan, salah satu kewajiban Perum Perhutani sebagai pengelola hutan negara berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan adalah melaporkan kepada polisi apabila terjadi kehilangan asset Negara, karena berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 Perum Perhutani tidak memiliki kewenangan penyidikan tindak pidana kehutanan.
"Persoalan tidak selesai di situ karena pemberian ijin tidak melalui kajian yang benar. Dampaknya banyak terjadi persoalan sosial yang akut. Di Cirorek misalnya , orang saling klaim satu sama lain. Hal ini tidak menutup kemungkinan akan adanya persoalan yang lebih besar lagi jika tidak segera diatasi," kata Iwan.
"Belum lagi kasus-kasus perusakan hutan, penebangan, penyerobotan, dan pemanfaatan yang tidak tepat, dampaknya besar sekali kepada masyarakan yang tinggal dibantaran sungai seperti kejadian banjir bandang beberapa tahun lalu," tambah dia.
Iwan juga memaparkan, banyak kasus pemanfaatan hutan yang tidak tepat sasaran, kajian yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, sehingga tidak berdampak pada peningkatan pendapatan perhutani sendiri.
"Dengan kata lain banyak ijin pemanfaatan lokasi yang mangkrak atau tidak berjalan. Hal tersebut dikarenakan buruknya uji kelayakan yang dilakukan perhutani. Sebut saja Curug Teko, Dusun Kopi, Nangklak, Situ Cibeureum, Cihanyawar, dan banyak lagi tempat wisata lain yang mangkrak alias One Prestasi". Jelas Iwan.
Dirincikan Iwan, berdasarkan wilayah pengelolaan, dibagi menjadi 9 (Sembilan) BKPH, dengan perincian sebagai berikut:
1. BKPH Leles 3.629,90 Ha,
2. BKPH Cibatu 7.688,19 Ha,
3. BKPH Bayongbong 6.419,74 Ha,
4. BKPH Cikajang 10.967,57 Ha,
5. BKPH Cileuleuy 14.145,96 Ha,
6. BKPH Sumadra 11.052,78 Ha,
7. BKPH Bungbulang 11.835,70 Ha,
8. BKPH Cisompet 11.787,16 Ha,
9. BKPH Pameungpeuk 4.007,39 Ha.
"Melihat data diatas, perhutani garut memiliki potensi yang sangat besar. Akan tetapi beberapa bulan Badan Penelitian Aset Negara Kabupaten Garut melakukan observasi dan investigasi lapangan terkait manajemen, pengelolaan serta pemanfaatan hutan Perhutani, ditemukan banyak pelanggaran hukum, Dari kasus Ilegaloging, penyerobotan, perusakan sampai pada pemalsuan dokumen perijinan dan lain lain," jelas Iwan.
Tindakan melaporkan kepada penegak hukum atau kepolisian, Iwan lanjut menjelaskan, apabila terjadi gangguan keamanan hutan adalah kewajiban perusahaan sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, karena apabila Perum Perhutani tidak melaporkan maka akan dikenakan sanksi dianggap melakukan pembiaran sesuai ketentuan Pasal 104.
Selanjutnya Iwan mengutip ancaman pidana dan denda bagi pejabat perhutani yang terlibat pidana pembiaran :
'Setiap pejabat yang dengan sengaja melakukan pembiaran terjadinya perbuatan pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 sampai dengan pasal 17 dan pasal 19, tetapi tidak menjalankan tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 15 (limabelas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp 7.500.000.000 (tujuh setengah milyar rupiah).'
"Dengan demikian jelaslah siapa yang akan jadi tersangka jika persoalan kejahatan di hutan ini terus berlanjut. Hutan rusak, siapa yang jadi tersangka? Karna Pembiaran adalah kejahatan," pungkas Iwan. (Layla)
Komentar
Posting Komentar