BPAN Garut: 'Pihak KPK, BPK, dan Penegak Hukum Lainnya Diharap Turun Tangan terkait Dana RHL'
GARUT, NEWSLETTERJABAR.COM-- Dana Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang telah dikucurkan, sudah mulai menghilang dalam ingatan.
Demikian dikatakan Ketua Badan Penelitian Aset Negara Kabupaten Garut, M. Iwan Sunarya, Ai.,S Sos I. dalam sebuah keterangan tertulis. Senin (07/09/2020)
Dikatakan Iwan, setelah tim investigasi menyisir beberapa lokasi penanaman program RHL tersebut, pihaknya selaku Ketua BPAN Kabupaten Garut, menduga, dana besar RHL 2017-2019 banyak hilang di jalan.
Menurut dia, program berbasis proyek tanpa melibatkan kemandirian masyarakat dalam
rehabilitasi hutan dan lahan yang sudah sangat kritis, meskipun melibatkan
masyarakat kesannya asal asalan.
"Asal proyek jalan," singkat dia.
Ditambahkan Iwan, Badan Pemeriksa
Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi perlu mengkaji, memeriksa, serta
mengevaluasi badan-badan di bawah KLHK yang mengelola dana besar dalam
rangka pemulihan kawasan ekologi dengan kondisi genting tersebut.
"Pasalnya, bencana alam tetap terus berlangsung di beberapa wilayah Jawa Barat, seperti banjir dan longsor di
Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung, Bogor, Bandung Barat, Cianjur, Sukabumi, dan
Tasikmalaya," papar dia.
Belakangan ini, lanjut dia, program RHL telah bergulir bertahun-tahun di
era Pemerintahan Presiden Joko Widodo.
"Proyek RHL terkesan proyek bancakan dana APBN dengan slogan kegiatan rehabilitasi. Kami menuntut BPK, KPK, serta pihak aparat penegak hukum melakukam tindakan, juga mveminta dua Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Citanduy-Cimanuk dan Citarum-Ciliwung di bawah KLHK bertanggung jawab atas kejadian bencana ekologis yang kerap kali terjad di kabupaten garut, khususnya, dan di jawa barat umumnya," jelas dia.
Iwan juga menyatakan, dana RHL ditengarai banyak hilang di jalan lantaran praktik
pemborosan atau panjangnya rantai penanaman pepohonan dalam program
tersebut. Untuk menanam satu pohon saja, ia memperkirakan biaya yang
dibutuhkan mencapai Rp 60-70 ribu.
"Ada biaya pupuk, ada biaya kayu peyangngga,; ada upah harian operasional kerja bagi penanaman; ada biaya angkut; ada biaya bibit; ada biaya pengawasan
dan penilaian," rinci Iwan.
"Warga dilibatkan hanya sebagai pekerja yang diberi upah menanam pepohonan tersebut," tambah dia.
Menurut Iwan, tak hanya boros, pendekatan proyek semacam itu tak memberi edukasi atau penyadaran kepada warga akan tetap pentingnya menanam, merawat, dan menjaga
pepohonan yang ditanam dalam program RHL.
"Jika melibatkan warga dengan pendekatan edukasi dan swadaya, rantai
pemborosan anggaran bisa ditekan. Pemerintah bisa menggandeng Karang Taruna dan elemen atau kelompok warga lain dalam kegiatan edukasi dan penanaman pohon itu, dengan alokasi biaya yang lebih murah," papar Iwan.
Dilanjutkan Iwan, terkadang, pendekatan
eduasi dan swadaya justru menggugah kesadaran warga yang rela memberikan
bibit pohonnya.
Jika pun mengeluarkan biaya, iwan memperkirakan, dana satu pohon jenis pinus yang ditanam dengan pendekatan tersebut paling banter hanya Rp 10 ribu.
"Dan tidak menggunakan upah harian kerja, karena di lahan di sana ada keterlibatan
masyarakat," ucapnya.
Selain itu, program RHL kena sorot karena pendekatan proyek melibatkan pihak ketiga yang kegiatan ditangani BKSDA.
Pihak ketiga dalam kegiatan penanaman pohon dan pemulihan lahan kritis itu bisa
berupa PT atau CV.
"Dan bukan rahasia proyek itu butuh uang pelicin walaupun secara fakta kita tak dapat membuktikan," ujarnya.
Iwan menduga, indikasinya terlihat dari persoalan perbedaann ukuran bibit pohon yang ditanam serta perusahaan-perusahaan yang memperoleh proyek pun itu-itu saja.
Proses penilaian dan pengawasan pohon yang ditanam dilakukan pemerintah
dengan menggandeng pihak independen juga berlangsung secara random. Selepas
tahun ketiga, informasi/hasil penilaian dan pengawasan juga tak dibuka sepenuhnya.
Tak heran, data yang didapat BPAN justru menunjukkan lahan kritis di Garut
khususnyya semakin bertambah.
"Seharusnya sudah tidak ada lahan gundul,"
ucapnya.
"Imbasnya, banjir dan longsor akan terus terjadi di wilayah garut, Untuk yang kesekian kailinya saya meminta agar KPK serta BPK dan seluruh penegak hukum untuk turun tangan mengevaluasi serta menertibkan kondisi ini sebelum semuanya menjadi dosa sosial yang dampaknya akan menjadi tanggung jawab kita," pungkas Iwan. (ling)
Komentar
Posting Komentar