Buat Anak Kok Coba-Coba
Oleh :
Dudung Nurullah Koswara
(Ketua Pengurus Besar PGRI)
NEWSLETTERJABAR.COM-- Tersenyum Saya saat pemerintah melakukan revisi surat keputusan bersama (SKB) empat menteri yakni Mendikbud, Menteri Kesehatan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri untuk memperbolehkan tatap muka di zona kuning. Rasanya seperti dagelan dan sandiwara. Dalam benak Saya “Buat Anak Kok Coba-Coba”.
Sungguh sebuah kecerobohan yang dilakukan empat menteri bila sekolah di zona kuning dibolehkan melakukan tatap muka. Saat ini Saya menerima dan membaca beberapa info anak didik yang terpapar dan staf sebuah cabang dinas pendidikan terpapar. Akankah kita spekulasi?
Adaptasi Kebiasan Baru (AKB) identik dengan “modus” tersulit bagi pemerintah pada orang dewasa agar produktif. Produktifitas orang dewasa terkait ekonomi dan layanan publik memang sangat dibutuhkan. Bila masyarakat terus mingkem non produktif, pemerintah bisa kerepotan dan bahkan bisa jatuh.
Secara politik bagi pemerintah kehidupan ekonomi apa pun situasinya, bagaimana pun caranya harus segera dihidupakan. Masyarakat dipaksa “berdampingan” dengan Covid-19. Ini simalakama dan simalakarma. Mau tidak mau manusia dewasa dan sehat harus produktif menghasilkan sesuatu dalam sikon sulit, penuh ancaman wabah.
Orang dewasa harus produktif, anak-anak tidak diwajibkan produktif. Termasuk produktif belajar. Anak adalah anak. Ia adalah entitas yang harus dilayani, dilindungi, diprotek dari bahaya wabah. Menggiring anak tatap muka dan bergerak menuju sekolah di wilayah zona kuning adalah sebuah proses “kuningisasi” risiko tinggi!
Neneng Fitri Ekasari Kepala SLB Cahaya Gemilang Pertiwi Kab. Cianjur, termasuk sosok yang meragukan dan menolak pemberlakuan perluasan pembelajaran tatap muka untuk zona kuning. Ia mengatakan, “Mengapa kita seolah-olah melakukan uji coba kemanusiaan dengan mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan guru dan peserta didik di sekolah?”.
Saya sepakat dengan penolakan Neneng Fitri yang punya daya lindung pada anak didik dan guru-guru di sekolahnya, agar tidak terpapar Covid-19. Jangan sampai perluasan pembelajaran tatap muka di zona kuning malah jadi “perluasan” klaster dan yang bisa menimpa anak didik dan pendidik. Anak didik dan guru bukan lab untuk herd immunity!
Ketika Neneng Fitri menyoal ada peraturan yang berubah dan membuat resah. Sesungguhnya ini menggambarkan pemerintah gagap, salah tanggap sikon dan tidak seirama dengan harapan masyarakat pendidik. Pemberlakuan tatap muka di zona hijau masih bisa diterima walau pun tidak ada zaminan aman. Namun revisi SKB empat Menteri terkait perluasan pembelajaran tatap muka di zona kuning adalah spekulasi. Buat anak kok coba-coba!
Sebagai guru, kepala sekolah dan pengurus organisasi profesi guru. Saya pun ikut meragukan pemberlakuan tatap muka di zona kuning. Dalam syair lagu sinetron Keluarga Cemara dikatakan, “Harta yang paling berharga adalah keluarga, mutiara tiada tara adalah keluarga”. Sekolah adalah keluarga! Ada harta tiada tara bagai mutiara di dalamnya yakni anak didik.
Bila ada “manuver” herd immunity sebagai bentuk solusi pahit yang dilakukan maka jangan libatkan anak. Anak bukan bagian dari sebuah design besar tentang politik, ekonomi bahkan herd immunity. Anak adalah anak. Ia pewaris masa depan dimana sehat dan keselamatan adalah utama di atas learningnya.
Lost learning dan lost generation adalah bagian dari risiko terpahit yang harus diambil. Daripada kita harus menerima ribuan anak tergeletak di sejumlah rumah sakit demi learning dan menghindari lost generation. Hak hidup, hak selamat dan hak terhindar dari wabah lebih utama dari belajar tatap muka. Lanjutkann dahulu PJJ, lihat sikon. Buat anak kok coba-coba!
Memang faktanya guru dan anak didik sudah saling merindukan. Rindu berat antara anak didik dan guru melebihi jlebnya rasa rindu antara Dilan dan Milea. Namun jangan terburu-buru seberat apa pun rasa rindu menimpa diri. Menahan rasa rindu memang berat. Namun risiko terpapar jauh akan lebih berat dari hanya sebatas rasa, rasa rindu. (*)
Komentar
Posting Komentar