'Betapa Bodohnya Kita Menyimpulkan', Surat kepada Kawan dalam Renungan Pergantian Waktu


NEWSLETTERJABAR.COM-- 

Prolog:

Pada setiap hari berganti, kita memiliki keharusan untuk selalu berupaya memperbaiki iklim hidup yang dari hari ke hari perubahan zaman terasa smakin menekan. Kita tentu tidak berharap iklim itu menimpa nasib kita ke titik nadir kehidupan yang menjadikan kita memiliki peruntungan yang dapat membuat martabat hidup ke tingkat yang rendah.

Kawan, Surat ini kutulis di saat malam tepat di tengah-tengahnya.
Dari hening yang kujalani, aku berharap meraih banyak arti akan waktu yang berganti, bahkan dari setiap detik yang terjalani.

Bukankah pergantian waktu itu adalah juga peleburan hitungan umur?
Artinya kita sudah terbunuh untuk segala kesempatan masa lalu! Kecuali kita mengenangnya.
Karenanya, senyatanya, pada saat seperti ini aku patut merinci serta mengijir karunia yang telah kunikmati.

Kawan, Akan karunia yang menjadi kenikmatan dalam hidupku, pada saat seperti ini aku merasa layak membersitkan rasa syukur sejak dalam hati.

Jika hati ini mampu serta banyak memahami segala hasrat kehidupan ini, mengapa pula hati kita tidak memiliki kesempatan untuk mengakui bahwasanya hati diciptakan pemiliknya; diketahui gerak gerik hasratnya; dan atas itu semua dicatat segala keberadaannya.

Aku patut mengakui, mengimani dan meyakini dengan sepenuh hati bahwa segala kenikmatan yang aku dapati datangnya hanya dari Allah SWT. 

Kawan, Berpangkal pengakuan hati itu, sejatinya aku harus banyak mengucapkan perkataan pujian kepada Allah yang menciptakan serta menguasai jagat raya ini. Dan konseksiwensinya menjalankan segala syari'at yang menjadi titah Allah SWT. 

Kawan, Teringat dahulu. Sering kita menjalani sepi dan dinginnya malam dengan obrolan-obrolan tentang dunia dan hasratnya.

Pokok-pokok pikiran obrolan kita senyatanya banyak berkutat pada hasrat kehidupan yang berkecenderungan atas hasrat dunia yang sesaat belaka.
Pada lingkaran itulah kita sering mengaitkannya dengan etika, moral, dan agama.
Kerap pula obrolan diakhiri dengan tawa yang lucu, nyaris terpingkal.

Kita memang sama lucu dan (tentunya) bodoh karena sebanyak tema yang kita obrolkan, tak satu kalimatpun mampu membuat sinopsis dari obrolan kita; betapa bodohnya kita karena malas membuat catatan yang akan jadi bukti sejarah hidup kita....... Hahaha.

Tapi sudahlah!
Bagaimanapun bodohnya kita menyimpulkan sebuah retorika dalam narasi lisan kita, hikmah pertemuan serta obrolan kita akan banyak kita dapatkan; akan menghujam secara mendalam ke lubuk jiwa kita.

Pada saat menghujam itulah hikmah dari pengalaman kita dapat kita jabarkan sesuai kemampuan kita menjabarkannya.

Tak perlu dilebih-lebihkan hingga mengaburkan asumsi kita terhadap inti kepentingan hidup kita. Fokus saja di kisaran 'hidup kita adalah tugas mulia dari Tuhan --Allah Maha Pencipta'!!! (*)

Ruang tak Berkaca, 00.01 (01 Muharam 1442H)  dari catatan harian Toni Gempur

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Relawan SIAP NDan Ucapkan Selamat dan Sukses Atas Ditunjuknya Dandan Maju Calon Walikota Bandung

Nasib Pilkada Garut 2024 dalam Situasi Integritas KPUD Dipertanyakan Publik

Garut Membutuhkan Pemimpin Berjiwa Enterpreneur Government